Kamis, 26 Januari 2012

Apakah Saya Ibu yang Baik bagi Anak Saya?

Selama bertahun-tahun saya sering menanyakan hal tersebut pada diri saya. Saya sering merasa bahwa ada saja yang kurang dalam peran saya sebagai seorang ibu.

“Aku selalu membanggakan Mama. Teman-temanku bilang aku bijaksana, dan aku selalu bilang karena aku belajar dari Mamaku bagaimana melihat suatu permasalahan dan cara mengatasinya.”

Ketika anak saya menyatakan hal itu pada saya, hati saya begitu terenyuh dan tersentuh. Selama ini, saya selalu merasa tidak pede akan eksistensi saya sebagai seorang ibu. Saya sering merasa bersalah apabila saya melihat anak saya melakukan sesuatu tidak seperti yang saya harapkan. Saya ingin dia jadi anak yang hebat, sukses, dihormati serta menjadi dirinya yang terbaik.

Anak saya satu, laki-laki. Sekarang usianya delapan belas tahun, dan duduk di tingkat dua sebuah  universitas swasta di Jakarta. Kami tidak terlalu sering berkomunikasi satu sama lainnya. Kami masing-masing sibuk dan sepakat bahwa frekuensi komunikasi kami bukan indikasi dari besar-kecilnya cinta kami satu sama lain. Facebook dan chatting adalah salah satu media komunikasi kami, dan untuk sekarang, itu tampaknya sudah cukup untuk menjembatani jarak tempat tinggal kami yang cukup berjauhan.

Kira-kira tiga minggu yang lalu saya iseng-iseng membuka-buka file-file tulisan anak saya ketika dia masih remaja, dua belas sampai empat belas tahunan, di mana terkadang dia harus mengerjakan pekerjaan sekolah dan mengerjakannya di komputer saya. Sehingga, saya masih mempunyai copy-nya. Saya sangat menikmati tulisan-tulisan anak saya. Tulisannya segar, orisinal, dan sangat imajinatif.

Ketika terakhir bertemu dengannya, saya bilang, “Kamu ini sebetulnya bakat nulisnya hebat, meskipun kamu jarang menulis. Kalau kamu berniat berkecimpung di dunia media, kemampuan menulis konsep dengan baik akan sangat besar nilainya.”

Rupanya komentar saya ditanggapinya dengan serius, karena beberapa hari kemudian saya menerima email darinya yang berisi sebuah link. Link ini tidak langsung saya buka. Tetapi, ketika saya membukanya, saya jadi terkesima. Ternyata, link itu ke sebuah blog karya anak saya, di mana dia menulis hampir setiap hari tentang kejadian human interest sehari-hari. Tulisannya sangat bagus, dalam, dan sarat refleksi pribadi. Langsung saya komentari dan saya puji dia.

Anak saya telah tumbuh menjadi suatu pribadi yang peduli, sensitif terhadap situasi dan kondisi sekitarnya, serta punya kedalaman batin yang mengagumkan untuk anak seusia dia. Entah mengapa secara tidak langsung hal ini merefleksikan peran saya sebagai ibu, dan membuat saya merasa bahwa saya tidak salah-salah amat dalam membesarkan anak saya. Hal-hal yang tidak dia sampaikan secara lisan pada saya, ternyata bisa diungkapkannya secara tulisan. Dan, hal ini membuat saya sadar bahwa dia telah menjadi seorang dewasa yang baik, dan saya tidak perlu perlu terlalu mengkhawatirkan dirinya.

Wah, saya bangga dan senang luar biasa.… Ternyata, dia mendengar kata saya, dan dia menemukan bahwa dia punya gairah menulis yang cukup besar. Dia jadi bisa mengekspresikan dirinya secara lebih lengkap di luar media fotografi yang selama ini menjadi sarana ekspresi diri pilihan dan andalannya.

Sirna sudah rasa tidak percaya diri sebagai seorang ibu yang selama ini tidak yakin telah menjadi ibu yang baik bagi anaknya. Sebagai single parent, saya tidak punya kesempatan untuk berbincang-bincang dengan ayah anak saya mengenai pendidikan dan perkembangan anak saya. Modal saya hanya rasa cinta yang besar dan harapan bahwa anak saya menjadi dirinya yang terbaik.

Dalam perjalanannya sering kali ukuran yang terbaik itu terkontaminasi oleh ide dan agenda pribadi saya tentang bagaimana seharusnya menjadi yang terbaik. Sehingga, tak jarang kami konflik dan saya merasa bersalah karena terlalu memaksakan kehendak saya.

Apa ukuran ibu yang baik? Sebenarnya susah untuk dikatakan. Saya datang dari keluarga yang disfungsional dan tidak memiliki kedekatan batin dengan orang tua dan saudara-saudara saya. Sehingga, boleh dikata saya tidak mempunyai panutan yang menginspirasi saya. Ketika anak saya masih kecil, kadang-kadang saya ringan tangan padanya, sesuatu yang selalu saya sesali belakangan. Karena, saya melakukan sesuatu yang sangat saya tidak suka ketika hal tersebut dilakukan terhadap diri saya.

Ini salah satu alasan, mengapa saya sering bertanya, “Apakah saya sudah menjadi ibu yang baik bagi anak saya, ataukah dosa-dosa saya pada anak saya membuat saya tidak akan pernah menyandang predikat seorang ibu yang baik bagi anaknya?”

Seiring dengan semakin bertumbuhnya diri saya, saya semakin jarang dan akhirnya berhenti ringan tangan terhadap anak saya. Melalui pencaharian saya, akhirnya saya sadar sepenuhnya bahwa saya adalah produk peta emosi orang tua saya. Meskipun pada awalnya saya sempat benci dan menyalahkan orang tua saya, untuk kebiasaan yang seolah-olah tidak bisa saya kontrol itu, namun lambat laun dengan banyak latihan kesadaran, akhirnya saya memahami dan menerima dengan seluruh hati nurani saya bahwa orang tua saya telah melakukan yang terbaik yang mereka tahu. Dan, mereka pun adalah produk peta emosi orang tua mereka.

Dan akhirnya, saya juga jadi mengerti bahwa mereka pun melewati masa-masa yang membingungkan tentang bagaimana seharusnya menjadi orang tua yang baik bagi anak-anaknya. Dan, saya yang telah mendapat kesempatan untuk bertumbuh dan mencari jati diri, mungkin jauh lebih banyak dari orang tua saya kini mempunyai pilihan untuk memutuskan mata rantai pola yang sudah terprogram dan mengakar selama beberapa generasi.

Jadi, kembali kepada pertanyaan apakah saya ibu yang baik? Ya, secara menyeluruh, dengan melihat apa yang dirasakan dan dialami oleh anak saya, saya lebih sering meniatkan dan melakukan hal-hal yang bermanfaat baginya. Kadang-kadang saya juga melakukan hal-hal yang mungkin kurang bermanfaat baginya, dan saya berupaya agar semakin lama semakin jarang saya melakukan yang kurang bermanfaat.

Saya terus berusaha memberikan kebebasan bagi anak saya untuk berkembang dan bertumbuh sesuai dengan pilihan hati dan panggilan jiwanya, serta mendukung aspirasi dan cita-citanya sesuai dengan bakat dan kemampuannya serta berusaha untuk tidak memaksakan kehendak dan ambisi pribadi saya. Kadang saya khilaf dan lupa pada tekad saya tadi. Dan, bila hal itu terjadi secepatnya saya meminta maaf padanya. Biasanya tidak pernah lama kami bertikai dan satu hal yang saya tahu pasti adalah bahwa saya cinta sekali pada anak saya. Dia mengatakan bahwa dia juga cinta dan sayang pada saya. Itu sudah cukup buat saya. Selebihnya saya serahkan pada Tuhan, orang tuanya yang sebenarnya.

(http://www.andaluarbiasa.com/apakah-saya-ibu-yang-baik-bagi-anak-saya)